Jumat, 23 Oktober 2015
I am coming home, Pare-Luwuk
Teringat awal pertama kali mengangkat kaki terbang ke tempat ini. Ku rasakan beratnya meninggalkan tempat ternyamanku, bersama orang-orang ku tersayang.
23 Maret 2015, masih dengan waktu yang sama saat ku meninggalkan kamar coklat mudaku, terasa seakan hanya akan pergi ke kampus, dan kembali sore harinya. Kurasakan hatiku bergetar melihat luasnya lapangan persinggahan pesawat yang ku tumpangi, yang akhirnya membuatku tersadar, kini ku tak bisa seenaknya kembali.
Takut, khawatir, gelisah akan apa yang terjadi satu detik kemudian. Ku tetap mantapkan kakiku berjalan mencari wanita kecil berjilbab panjang yang mengarahkanku ke tempat yang kini juga ku sebut "rumah".
Seminggu berlalu berlalu, tak kurasakan keinginan kembali atau pun untuk berlama-lama disini. 2 minggu berlalu, 3 minggu berlalu, hatiku goyah ingin suasana rumahku kembali.Dukungan mereka, keluargaku, membekukan niatku kembali hingga ku mampu menjalani 2 bulan di tempat ini. Kebahahagiaan, kesedihan, kebersamaan, dan kesendirian silih berganti. Satu atap dengan orang yang terus berganti dan selalu ditinggalkan setiap bulannya membuatku tak lagi mengerti arti perpisahan.
Hari terus berganti, kerinduan akan kampung halaman tak terasa lagi hingga saat itu aku harus berbaring sendirian di kamar rumah sakit. Ibu, dan mereka berharap ku segera membaik dan segera pulang, dan aku pun demikian. Namun, setelah sembuh, seakan niat yang masih membeku itu masih tersimpan rapi dalam hati yang dingin, ku lanjutkan perjalananku menggapai mimpi.
Belum kembali untuk bersujud di bawah kaki ibu, ku habiskan 'lebaran'ku di Bali bersama keluarga papa disana. Walau tak dapat menutup kerinduanku akan wajah ibu, kakak, adik-adik, dan menjenguk tempat papa, aku terus tersenyum dan berusaha mengumpulkan semangatku mengejar kebahagiaan untuk mereka.
Tak terasa ternyata aku telah meninggalkan rumah 5 bulan lamanya. Tak terhitung lagi panggilan telepon dari ibu, kakak, dan keluarga untuk bertanya "kapan pulang ke rumah, nak? Kapan selesai belajarnya?". Sedihnya tak terukur hingga bahkan lututku pun bergetar tiap pertanyaan itu ku dengar, seperti panas yang mencoba cairkan niatku disini.
10 September 2015, terlihat titik terang dari kejauhan yang menandadakan penjuanganku semakin dekat. Betapa besarnya Kuasa Allah, aku bahkan tak sanggup berkedip. Harapan besarku terjamah sedikit demi sedikit. Hatiku semakin kuat untuk tinggal disini, menunggu keajaiban Allah sembari mengabdikan diriku di tempat yang kini kusebut "rumah hijauku", sekolahku, tempat beribadahku.
Singkat terasa, kini ku harus kembali ke rumahku, tempatku mulai mengumpulkan mimpi-mimpi itu yang kini sebagian telah diwujudkan di rumahku yang lainnya. Aku memang harus pulang, pulang mengenang bagaimana mimpi-mimpi itu tercipta dan tersimpan rapi di dalam lemari besar yang ku sebut hati dan cinta.
Namun, bahagiaku bercampur aduk bersama keinginanku yang kini tak ingin melepas dan meninggalkan tempat ini.
Ditempat ini, dengan barang-barangku yang telah siap berangkat, ku kumpulkan dan bekukan lagi niatku kembali ke kampung halamanku. Ku coba dengan menbayangkan udara segar dan sejuk kampung halamanku. Namun, tempat yang bahkan membuat nafasku sesak berkali-kali ini, seakan menarik pikiranku kembali untuk diam dan terus terpaku di tempat ini.
But I would if I could.
I have to go home, I have to see my family, I need to be there, again.
I come back not to give up on my dream.
I come back to take the way to reach my dreams because that is one of the way to be passed through...
I am coming home
I am coming Gorontalo
I am coming Luwuk
But I wont say "Bye" to this new-home place.
Test-English School, Pare, Kediri
23 Oktober 2015
Tresya F Naue
Langganan:
Postingan (Atom)