Jumat, 23 Oktober 2015

I am coming home, Pare-Luwuk


Teringat awal pertama kali mengangkat kaki terbang ke tempat ini. Ku rasakan beratnya meninggalkan tempat ternyamanku, bersama orang-orang ku tersayang.

23 Maret 2015, masih dengan waktu yang sama saat ku meninggalkan kamar coklat mudaku, terasa seakan hanya akan pergi ke kampus, dan kembali sore harinya. Kurasakan hatiku bergetar melihat luasnya lapangan persinggahan pesawat yang ku tumpangi, yang akhirnya membuatku tersadar, kini ku tak bisa seenaknya kembali.
Takut, khawatir, gelisah akan apa yang terjadi satu detik kemudian. Ku tetap mantapkan kakiku berjalan mencari wanita kecil berjilbab panjang yang mengarahkanku ke tempat yang kini juga ku sebut "rumah".

Seminggu berlalu berlalu, tak kurasakan keinginan kembali atau pun untuk berlama-lama disini. 2 minggu berlalu, 3 minggu berlalu, hatiku goyah ingin suasana rumahku kembali.Dukungan mereka, keluargaku, membekukan niatku kembali hingga ku mampu menjalani 2 bulan di tempat ini. Kebahahagiaan, kesedihan, kebersamaan, dan kesendirian silih berganti. Satu atap dengan orang yang terus berganti dan selalu ditinggalkan setiap bulannya membuatku tak lagi mengerti arti perpisahan.

Hari terus berganti, kerinduan akan kampung halaman tak terasa lagi hingga saat itu aku harus berbaring sendirian di kamar rumah sakit. Ibu, dan mereka berharap ku segera membaik dan segera pulang, dan aku pun demikian. Namun, setelah sembuh, seakan niat yang masih membeku itu masih tersimpan rapi dalam hati yang dingin, ku lanjutkan perjalananku menggapai mimpi.

Belum kembali untuk bersujud di bawah kaki ibu, ku habiskan 'lebaran'ku di Bali bersama keluarga papa disana. Walau tak dapat menutup kerinduanku akan wajah ibu, kakak, adik-adik, dan menjenguk tempat papa, aku terus tersenyum dan berusaha mengumpulkan semangatku mengejar kebahagiaan untuk mereka.

Tak terasa ternyata aku telah meninggalkan rumah 5 bulan lamanya. Tak terhitung lagi panggilan telepon dari ibu, kakak, dan keluarga untuk bertanya "kapan pulang ke rumah, nak? Kapan selesai belajarnya?". Sedihnya tak terukur hingga bahkan lututku pun bergetar tiap pertanyaan itu ku dengar, seperti panas yang mencoba cairkan niatku disini.

10 September 2015, terlihat titik terang dari kejauhan yang menandadakan penjuanganku semakin dekat. Betapa besarnya Kuasa Allah, aku bahkan tak sanggup berkedip. Harapan besarku terjamah sedikit demi sedikit. Hatiku semakin kuat untuk tinggal disini, menunggu keajaiban Allah sembari mengabdikan diriku di tempat yang kini kusebut "rumah hijauku", sekolahku, tempat beribadahku.

Singkat terasa, kini ku harus kembali ke rumahku, tempatku mulai mengumpulkan mimpi-mimpi itu yang kini sebagian telah diwujudkan di rumahku yang lainnya. Aku memang harus pulang, pulang mengenang bagaimana mimpi-mimpi itu tercipta dan tersimpan rapi di dalam lemari besar yang ku sebut hati dan cinta.
Namun, bahagiaku bercampur aduk bersama keinginanku yang kini tak ingin melepas dan meninggalkan tempat ini.

Ditempat ini, dengan barang-barangku yang telah siap berangkat, ku kumpulkan dan bekukan lagi niatku kembali ke kampung halamanku. Ku coba dengan menbayangkan udara segar dan sejuk kampung halamanku. Namun, tempat yang bahkan membuat nafasku sesak berkali-kali ini, seakan menarik pikiranku kembali untuk diam dan terus terpaku di tempat ini.
But I would if I could.

I have to go home, I have to see my family, I need to be there, again.
I come back not to give up on my dream.
I come back to take the way to reach my dreams because that is one of the way to be passed through...

I am coming home
I am coming Gorontalo
I am coming Luwuk

But I wont say "Bye" to this new-home place.

Test-English School, Pare, Kediri
23 Oktober 2015

Tresya F Naue

Minggu, 19 Juli 2015

My Short Journey

Bekas di sela jari hingga pertengahan sisi luar kaki tergambar dari tinta matahari yang panas di pulau ini.
Tak begitu terasa membakar, mungkin scenery-nya menghanyutkan mata melupakan perihnya sengatan benda raksasa panas itu.

12 hari telah kaki ini menempel di tanah Bali, berkeliling dari pasir, tanah, hingga keramik terasa di telapak kaki. Sendal tipis merah dengan garis hitam disisi tak menghalangi nikmat pijakan kaki di pulau ini.

Mata dengan lingkaran hitam bak panda seakan dibuka oleh pemandangan elok di seluruh spot. Tak ingin terlewatkan keindahan ciptaan Tuhan, benda tipis disebut kamera pun ikut berperan dalam perjalanan ini. Meski memorinya tak akan sanggup menangkap semua yang dirasakan mata, terkadang memang dokumentasi diperlukan untuk melihat kembali dimasa depan indahnya hari ini.
Betis yang kian terasa membengkak akibat dayung sepeda bukan halangan bagi seorang wanita yang ingin memanjakan mata bulatnya.

Lekukan pantai Pandawa yang dihiasi dengan kano warna warni bahkan membuat mulut menganga tak berhenti memuji Allah.
Bentangan luas pasir Kuta yang menarik menghisap kaki seakan tak memberi izin untuk bergerak keluar
Gerombolan layangan dan terpaan angin Sanur  yang menyejukkan jiwa
Patung dengan berbagai ukiran dan ukuran berjejer rapi di pinggiran, taman, hingga di bukit tempat sang raksasa GWK berdiam
Kemegahan tatanan lampu" bak bintang berjejer rapi memberi cahaya pada gelombang arus di permukaan laut di Tol Bali Mandara
Pusat perbelanjaan dengan dominasi Barong dan Kain dengan ukiran tradisional Bali terlihat sekilas memanggil-manggil untuk dibawa pulang.

Banyak hal menakjubkan yang bahkan tak sanggup mulut tuk berkata
Hingga kini, yang bisa ku sebut adalah Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar...

Jumat, 05 Juni 2015

Honesty

Nowadays, honesty becomes a rare thing. Numerous people choose to lie to obtain advantages or even to hide soething. They do not realize how essential honesty is,especially for relationship. Many relationships break up, closeness in family become scarce, and children's behavior become bad deed because of lie.

In a couple, trust is very important to build and maintain the relation. However, trust is hard to get without honesty. A lie can destroy even a relationship which is built for years. many couples fight because one of them is found out cheating, and he or she makes a lie to hide it. Moreover, in serious condition, married couple divorse because the loose their trust for one of them lie about little things. In this case, honesty should be the thing for couples to keep their relationship to stay longer.

Lie is a part of life, but it brings many damages. in family, the habit to lie can fade closeness. For instance, children lie to their parents only to do what they want that their parents forbid. In this situation, to keep their lie, many children choose to keep quiet and stay away from their parents, so that their parents will not ask, get suspicious, and even get angry to them. They do it commonly to avoid punishment.

Because many children often lie to avoid punishment. It will be habit that unconciously they do everywhere to keep themselves in safe position. Aware or not, their behavior will change to be bad.for example, a child who likes to lie for avoiding punishment in home will continue to lie in school to shun some assignments. She or he may say sick or other reasons, so that they do not need to do the tasks. It directly makes him/herbecome a lazy person. it is bad for children's future.

To sum up, lie is common thing, but it is very dangerous for relationship and even behavior of people. It never brings any advantages, so it should be reduced by keeping the honesty. It is the only way and the most important thing to keep the relationship longer with less fracas.

Important Skill to be Success

Success is a dream of each person. Not a few people spend a lot of money only to gain successful, but it is not easy as many people thought. Even though people hold many kinds of degree, it does not guarantee them to be success if they do not have interpersonal skill.

A lot of people race each other to study to get more knowledge. They believe that knowledge can bring their life to be success, but in recent days, there are a lot of unemployees who hold even master's degree. It proves that beside knowledge, people need interpersonal skill to manage themselves to be a good person. By interpersonal skill, people can control their anger, for example, so they can survive and face the work force. If they can do that, they are one step closer to be success which requires patient to get it.

In business domain, interpersonal skill can be used to solve problem. many educated people occassionally cannot solve problems which appear as the result of work force. It means knowledge is not the only one requirement that need to reach success, but people who have interpersonal skill can easily solve problem because they think without anger, know how to treat people and their opinion, and even give good advice to solve the problem.

To sum up, interpersonal skill is crucial part to be success. numerous people can get a good job with high degree, bachelor, master, or even doctoral, but it cannot guarantee them. they should have interpersonal skill which is needed to manage themselves. If they do not, they will not be able to survive. The thing people should know is that success is not only about how to get it, but also how to survive to get and maintain the success.

Selasa, 28 April 2015

Alexander The Great

"People were like snake, you can love them for years, feed them, nurture them, but still, they can turn on you" - Olympias

This quote was given to Alexander by his mother, Olympias, for his mother wanted to let him know and taught him well.
She believed that Alexander was a son of Zeus and wanted him to be a great king. Since he was still young, his mother always counselled him that 'people were like snake, you can love them for years, feed them, nurture them, but still, they can turn on you'. His mother wanted him to be an independent man as he grew up and not too believe on someone even they were so close, because she was afraid that Alexander would be hurted by people and let down because of that, A king should not be like that, a king should be strong and assertive.

But when he was getting older, he did not give notice about his mother's words. He did believed in some of his friends. But then, he found out that his right hand person wanted to kill him by giving a poison in his beverage, but before he drank that beverage, the waiter told him about the poison. He was really angry about that and he argued with the man who wanted to kill him, the man who always took care of him since his father died and became a king. Because of his anger, he stabbed him unintentionally and repented it. Then, he remembered his mother's words, that was true.

His bestfriend and his mistress tried to calm him by giving him advice that he was a great king and his place needed him. Then, he got back his strength and became wiser than before. After that, he always remebered all of his mother's advice when he got problems, but sometimes, he did not do some of his mother's advice because he thought that his mother was not always right in all things.

Alexander The Great

Sabtu, 21 Maret 2015

Kenyataan dihadapi, bukan di pasrahkan

21 Maret 2015
Mendekati hari H yang menyisakan  2hari sebelum aku harus berangkat memulai langkah pertamaku menggapai cita-cita
Kadang semangat kadang pula redup
Hampir aku menyerah dengan keadaan
Mungkin karna ketidaksabaranku
"Mungkin aku bukan orang yang mampu seperti apa yang aku inginkan.. Mungkin jalan hidupku tak setinggi yang aku impikan, mungkin jalan hidupku berbeda dengan yang aku rencanakan"
Sempat bercampur aduk di pikiranku, berusaha menerima kenyataan,
Namun aku masih memiliki sebongkah harapan di hati yang sulit untukku hapuskan
Selalu kusisipkan harapan itu ke dalam doa
Selalu ku minta padaNya walau hal yang ku pikir aku tak bisa

Hari ini kakak tersayangku tak memberiku sedikitpun ucapan yang dapat membangkitkan atau meluluhkan semangatku
Tak ada kabarnya sejak semalam, membuatku khawatir.. Khawatir padanya.. Khawatir pada masa depanku.. 
Aku pasrah pada Tuhan dengan tetap berharap..
Aku hanya ingin kakakku baik" saja..
Bercampur pikiranku menjadi hal-hal negatif menyedihkan akan saudaraku tersayang
Hal yang tak biasa dy lakukan membuatku semakin khawatir akan keberadaannya
"Tuhan, aku serahkan masa depanku padaMu
Tapi selamatkanlah kakakku lindungi dia dimanapun"

Gelisah menggerogoti hati
Hingga tiba pesan "sy di rmh sini"
Aah.. Lega rasanya
Segera aku menemuinya

Membicarakan segala hal yang aku butuhkan bersamanya dan keluargaku yang begitu peduli padaku, syukurku tak henti memiliki mereka, mereka yang rela membantuku melangkahkan kakiku untuk menggapai cita-cita..

Allah memberiku yang aku pinta
Allah mengizinkanku memulai langkah kakiku
Syukurku tak mampu ku utarakan dengan kata-kata
Tak ingin mengecewakan mereka
Aku harus bersungguh-sungguh
Aku belajar lagi hari ini 
Tuhan tunjukkan aku bahwa pintu akan terbuka di titik ini, di saat aku hampir menyerah. kadang orang memang tak tau,, ketika dia ternyata hampir menyentuh pintunya, namun dia memilih berbalik karna berpikir tak lagi mampu.
Aku belajar bahwa kenyataan bukan di pasrahkan, tapi dihadapi ... 

Rabu, 18 Maret 2015

Pasrah menggelisahkan...

Tik tok tik tok tik tok
Detak jam dinding bercampur riuh suara tv
Duduk termenung meratapi waktu
Hari yang di tunggu semakin dekat
Kendala utama tak bergerak membaik
Kisah hidup sang pemimpi
Tertahan raja dunia memutuskan asa
Kini pasrah menggelisahkan
Tak tau arah entah kemana
Tempat bernaung tempat bergantung
Tak lagi beri pengasah jiwa...

Senin, 16 Maret 2015

I'd love to !

Hampir semua orang pengen keluar negeri, buat kerja, sekolah, bahkan sebagian besar adalah travelling. Aku pun tak menapik bahwa aku termasuk salah satu mereka. Sejak SD aku sudah jatuh cinta dengan bahasa asing yg membuat lidah menari nari tak karuan itu. Iya, English...
Sejak SMA, aku sudah memimpikan untuk melanjutkan pendidikan sarjana di universitas di luar negeri,, aku merengek ke papa dan mama mendekati Ujian Nasional SMA dulu.
Namun apalah daya, karena kendala umur dan keuangan, mereka langsung mengatakan TIDAK.
Aku pun terdiam. Melihat wajahku yang memelas, papa menyambung kalimatnya "kalau mau sekolah di luar negeri, jadi anak pintar, dan ikut beasiswa". Tak bisa di pungkiri, karena keadaan keluarga yang bisa disebut Miskin, aku mengubur setengah mimpiku. Namun, perkataan papa membuat hatiku luluh dan menggetarkan semangatku untuk lebih giat belajar. Dan waallaaaaa! Aku lulus dengan prestasi terbaik kedua di Sekolahku. Aku bangga membanggakan kedua orang tuaku dengan prestasiku, walau tak seberapa menurutku.
Papa kemudian ingin aku segera melanjutkan sekolah sarjana di Gorontalo, kampung halamannya. Walau tak terlalu jauh dari kampung halamanku, yah kalau naik kapal butuh sehari untuk sampai kesana. Tapi, itu pertama aku harus meninggalkan kampung halamanku untuk waktu yang lama. Di kampung halamanku, universitasnya belum ada yang negeri, jadi papa ingin aku bersekolah di sekolah negeri agar lebih berkualitas dan memiliki banyak peluang.
Benar saja, banyak hal yang aku dapatkan selama kuliah, sayangnya papa ingin aku memfokuskan ke perkuliahan bukannya pendidikn nonformal lainnya.
Sebagai anak yang masih baru mengenal dunia perkuliahan, aku pun tak begitu fokus dengan apa yang papa katakan, rasanya aku ingin join ke semua organisasi. Dari masuk komunitas Taekwondo, organisasi Kabupaten Banggai (untuk mahasiswa- asli kampung halamanku), PMII, kelompok belajar, English club dari fakultas sastra san budaya walau hanya sebentar, hingga menjadi seorang penyiar. Kesibukan yang sekaligus aku kumpulkan membuatku belajar mengatur waktu. Dan karena papa melarangku, keadaan pun memaksaku untuk menentukan prioritas hidupku. Aku bersyukur akhirnya aku bisa belajar memilih yg menurutku terbaik untukku.
Tepat pertengahan perkuliahan, aku di coba Allah dengan di ambilnya papa dari ku dan keluarga, hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidupku.
Mama, kakak, dan adik-adikku membuatku harus kuat.
Semua ku tinggalkan, fokus pada satu permintaan papa, Kuliah.
 Akhirnya aku wisuda lebih cepat dari seharusnya, 3,5 tahun ku selesaikan Sarjanaku, membuat orang tua dan keluarga bangga padaku. Aku menepati janjiku pada mama dan papa.
Perjuanganku tak luput dari usaha kakak yang bekerja keras menafkahi kami semenjak papa berpulang kepadaNya.
Walau ia tak lagi kasat mata, aku selalu merasa ia terus melindungi ku dan keluargaku.
Ingin ku melanjutkan studiku ke gelar Master, aku ingin menjadi seorang dosen, aku ingin mendapatkan beasiswa, aku ingin melanjutkan mimpiku yang sempat terkubur semasa SMA dulu.
Jalanku semakin luas, peluang dimana mana terbuka, beasiswa tersebar ke seluruh penjuru wilayah di Indonesia. Namun, beasiswa adalah beasiswa, untuk mendapatkannya pun memerlukan dana yang tak sedikit, apalagi aku ingin melanjutkannya di negara lain yg mengharuskanku memiliki bahasa inggris yg baik.

Mahasiswa... Mahasiswa...

06:00 am, alarm memekakkan telingaku, om tante kakak, dan oma membangunkanku bergantian.
Setelah pesanku semalam agar aku di bangunkan lebih awal, mereka tak hentinya mengganggu nyenyaknya tidurku.
pagi ini tak seperti biasanya, aku bangun mendahului matahari.
Walau tidurku semalam pukul 03:00 am (tak bisa juga di katakan 'semalam', mungkin subuh), aku berusaha membangkitkan tubuhku melepas diri dari gravitasi tempat tidur yang kurasa berkali-kali lipat dari gravitasi bumi.
Hari ini aku harus menggantikan dosenku untuk mengajar.
07:00 tepat aku berada di ruangan tempat biasa dosenku mengajar mata kuliah hari ini. Namun, 15 menit berlalu, tak satupun mahasiswa dari kelas yang akan ku masuki berada diruangan. Pikirku, aku yang kepagian. Tapi, waktu menunjukkan pukul 7:30 am. Ku tanya pada setiap mahasiswa di sekitar ruangan, namun tak satupun yang memiliki jadwal mata kuliah yang akan ku gantikan itu. Satu jam aku menunggu, ku hubungi dosenku, meminta konfirmasi dari ketua tingkat mereka, namun tak satupun juga yang dapat memberikan konfirmasi.
Marah, kecewa, kantuk, bingung, bercampur menjadi satu. tiba-tiba terlintas di pikiranku ketika aku masih menyandang status mahasiswa, betapa kuliah pagi merupakan cobaan terberatku. Rasa marah dan kecewaku pun sedikit berkurang. Aku dulu seperti mereka, pikirku. 
Aku terus menunggu hingga kurasa batas toleransiku sudah cukup pada pukul 8:15 am.
Geram menggerayangi otakku yang terhasut oleh rasa kantuk yang tinggi. Ku putuskan untuk kembali ke rumah.
Dalam perjalanan, aku terus berusaha memikirkan hal ini. Berpikir kembali apa-apa yang telah ku lakukan semasa kuliahku dulu. Ku jadikan hari ini pelajaran bagiku. Pelajaran untuk mengintrospeksi diri, pelajaran untuk aku ajarkan kepada orang lain, dan pelajaran untuk masa depanku. Ah, aku bisa sedikit demi sedikit menjadi dewasa. Terima kasih Tuhan.

Kamis, 12 Maret 2015

Mengenang Iloheluma.. Kuliah Kerja Nyata 2014 FEB Akuntansi


Pagi aku terbangun, layaknya koran di zaman dahulu, smartphone inilah yg kucari ketika mata pertama kali terbuka di pagi hari...
Entah apa isi benda persegi panjang putih ini, selalu menjadi favorit setiap orang di zaman serba instan ini...
Pagi itu dengan mata sayup, ku buka aplikasi BBM untuk melihat ada tidaknya pesan penting yg orang lain ingin sampaikan padaku...
mataku masih sayup, ku lihat Broadcast messages lebih banyak memenuhi obrolan BBM..
Bintang merah di 'Umpan' mengharuskanku membukanya...
Nampak curhatan umum orang-orang yg dominan dengan aktivitas di pagi hari (iya, karena pagi hari). 
"Hari pertama di desa .......... (bla bla bla) KKN!"
Salah satu curhatan seseorang dalam Recent Update BBM yang membuatku masuk dalam lorong waktu untuk sejenak kembali ke Juli 2014. Saat dimana for the very first time aku tinggal dirumah orang yang tak ku kenal untuk the next 2 months, dengan 30 teman-temanku Lainnya. Teman-teman yg awalnya pun tak ku kenal.
Program kuliah itu mengharuskan kami bermasyarakat dalam keadaan mau atau tidak mau. Tiga hari pertama tinggal sebagai bentuk survei awal belum mampu membuat diri ini terbiasa dengan kondisi lingkungan yang baru.  hari ke-4 mengharuskan kami pulang kembali ke kota Gorontalo (home sweet home bagi sebagian teman dan dorm sweet dorm bagi sebagian kami) karena beberapa hari lagi akan memasuki bulan Ramadan, dimana tradisi mahasiswa adalah harus menjalankan hari pertama Puasa bersama keluarga. Seminggu kemudian kami pun harus kembali ke Desa Iloheluma yang berjarak 3 jam dari kota itu. Dengan angkot biru beroda empat, kami kembali ke desa itu. Seminggu berjalan namun Dormsick masih terasa. Trus terasa dan ingin pulang kembali saja. Rasa canggung masih menggeliat, aku, fidi, nana, dan novi masih malu-malu tinggal di rumah warga yang kami tak kenal sebelumnya. Dua minggu berlalu, kami diharuskan kembali ke kampus mengurusi persyaratan KKN yang telah kami laksanakan lebih dulu (aneh, laksanakan dulu baru mendaftar, xixixi).
seminggu di kota, akhirnya kami harus kembali lagi untuk kesekian kalinya ke desa Iloheluma hingga lebaran hampir tiba, kami pun harus kembali ke Home Sweet Home. Hal yang paling aku tunggu walau tak bisa berlama-lama di kampung halaman. Back to Hometown, Yeeeiiiyy!
Ramadhan berlalu, back to the village.. rasanya tak ingin kembali.
Kali ini, kami tak di beri kesempatan untuk bolak balik ke kota lagi, -_-
Program-program KKN  terus berjalan setiap hari, semakin lama semakin terbiasa dengan warga disana terutama tante dan om di rumah tempat kami tinggal. Pengalaman yang awalnya tak senang di lakukan kini menjadi pelajaran yang di lakukan dengan tawa. Pengalaman yang awalnya menolak untuk dilakukan, kini akan melepasnya dengan air mata.
Dua bulan berlalu, kali ini kami harus kembali ke kota tanpa wajib kembali ke desa penuh warga yang ramah itu.
Pak penghulu (kepala rumah tangga tempat aku tinggali), istri, dan anak-anaknya serta warga masyarakat lainnya pun mengantar kepergian kami dengan haru. Terima kasih program KKN yang membuat pertemuan indah tak terlupakan.. ^^

Rabu, 11 Maret 2015

Finally, I graduated from Gorontalo State University!

February, 18th of 2015
Big day happened!
Alhamdulillah....
Finally, that day happened. The day i was always waiting for...
Papa mama ini untuk kalian...

Lama bergelut dengan pena dan kertas, dan ilmu yang mengerutkan otak dan dahi..
Teringat saat pertama kali datang ke kota keluarga papa ini. Dengan satu buah kopor raksasa dan ransel coklat muda. Papa menjemputku di pelabuhan penyeberangan Fery.. aaah... ternyata masa lalu begitu singkat...

       Alhamdulillah...
Tak hentinya bibir ini berucap syukur kepada sang pencipta skenario kehidupan...
Syukur yang tak hentinya atas kedua orang tua dan tiga saudara tersayang...
Bahagia dengan keluarga besar pendukung yang tak pernah hilang dukungannya...

Bahagia bercampur sedih menyelimuti merahnya hati dalm rongga dada...
Ibu, adik-adik, om, dan tante jauh-jauh datang hanya untuk menghadiri hari besarku, kakak yang rela berlibur dihari kerjanya, keluarga besarku yang melontarkan kalimat-kalimat pujian dan peluk bahagia .. hari itu memang bahagia terasa bukan main..
Tapi, sepanjang hari dengan topi besar hitam, baju tak berlekuk hitam 'Toga' itu dan senyuman lebar di wajah tak mampu menutupi kejujuran mata.
Bergenilang air seakan berkaca, hampir-hampir make up yang ku poles sendiri sedikit demi sedikit terhapus karena air mata yang terus ku tahan menetes setetes demi setetes di pipi... Air mata kesedihan yang muncul karena mengingat sesosok pahlawan besar yang tak dapat ku lihat dengan kasat mata saat hari itu.
Ayah... walau aku selalu yakin dia selalu menjagaku dan bersamaku, namun, hari itu, keberadaanya yang tak kasar mata membuat mataku gelisah...
Hati terus meyakinkan dia disisi, namun mata ingin kepastian wujud.
Dokumentasi yang seharusnya genap berenam, pada hari itu pun terasa dan terlihat ganjil.
Teringatku akan janjinya akan kelulusanku nanti...

16 tahun lebih sejak taman kanak-kanak aku berjuang hingga ke perguruan tinggi untuk mengumpulkan ilmu agar dapat membanggakan keluarga dan memantaskan diri di dunia nyata...
Kini aku telah di anggap seorang cerdas pemberi contoh, bukan lagi seorang penerima contoh.
Terima kasih Mama, Terima kasih Papa, Saudara-saudaraku, keluarga besarku, sahabat-sahabat, kawan-kawan, hingga mereka pemberi doa yang tak ku ketahui...
Syukur terbesarku, Allah SWT dan teladanku Muhammad SAW...
Alhamdulillah....

Memorize...

01.47 am hari ini, di kamar berukuran sedang dengan dominan warna hijau ini, aku terbangun. Seperti biasa yang pertama ku cari adalah alat canggih penghubung favoritku yang dikenal dg sebutan Telepon Pintar (SmartPhone). Kamar nan hijau ini terlihat familiar di mataku, walau ini bukanlah tempat favoritku. Kamar dengan lemari besar berwarna coklat tua ini bukan kamarku...
Malam ini malam kedua aku merebahkan badanku untuk istirahat disini. Kamar ini dulunya selalu aku jadikan tempat curhat bersama spupuku pemilik kamar ini hingga mata dan bibir lelah untuk bicara.
Kubuka pintu, tak seorang pun di ruang tamu, terlihat sepi dan sedikit gelap. Dengan sedikit takut aku brusaha ke kamar mandi yang jaraknya hanya 10 langkah dari kamar ini.
Kembali ke kamar, ku laksanakan sunnah solat tahajud, dan selesainya langsung kuraih alat nan canggih favoritku itu. mencoba mencari penghibur mata, akhirnya benda persegi panjang dengan layar penuh ini mmbawaku ke sebuah blog seseorang yg mengingatkanku setiap detail masa laluku.
Ku ingin merasa menyesal pada setiap memori masa lalu yang terlewatkan tanpa ku rekam dengan hardcopy untuk bisa ku ingat-ingat kembali tanpa kehilangan sedikitpun detail yang terjadi. Namun, entah mengapa pikiranku tak membawaku ke penyesalan. Mereka membawaku terus mengingat-ngingat setiap detail masa laluku. Tak ingin menyesal lagi nantinya.. ku coba tuliskan kembali detail-detail itu.. 
Pikirku dulu aku hanya seorang manusia yang menjalankan kehidupan sehari-harinya seperti biasanya. I am just an ordinary girl. But,
Memorizing every moment in the past makes me realize, aku bukan orang biasa, hari-hariku tidaklah biasa, aku seorang pencari jati diri, pemimpi besar, aku pencari kesuksesan masa depan...
Dengan sedikit bersyukur berfikir ini belum terlambat, aku mulai merekam cerita masa laluku. Namun, belum sempat menulis penuh satu kalimat, azan Subuh berkumandang, pertanda Tuhan memanggilku untuk bersimpuh sujud padanya. Mungkin Dia ingin aku menceritakan padaNya lebih dahulu apa yang aku inginkan dan bersyukur karena Dia telah mengingatkanku...

Rabu, 07 Januari 2015

Untukmu....

tumpukan-tumpukan kertas tersusun rapi di sudut kamar...
terlihat berdebu dan usang dimakan waktu...
tak mampu otak mengembalikan segala ingatan ilmu masa lalu yang di dapat mengharuskan tangan mengusap debu-debu untuk kembali bernostalgia dengan rangkaian-rangkaian kata yang tak asing ketika di baca...
mata hampir tak berkedip semenit, dahi berkerut mencoba mengerti kembali untuk mengurai kata demi kata yang mirip namun tak sejenis untuk pengertian yang berusaha dimunculkan oleh hasil jerih payah otak untuk mengolah..
sebait kata muncul dari seribu lembar kertas yang terbuka mebuat bahagia luar biasa untuk mengukir kata dalam lembaran-lembaran baru untuk ringkasan ilmu yang telah berlalu 3,5 tahun silam...

doa menjadi penopang kegigihan yang berkurang dimakan lelah..
semangat layaknya bala tentara yang memegang senjata dari setitik kerinduan dan keinginan yang bercampur menjadi bahan bakar yang membuat api berkobar begitu dahsyat hingga lelah, takut, hingga sakit pun tak terasa akibat panas yang membakar berjuang melawan keinginan hati untuk menyerah...
canda tawa, bahagia, marah, sedih, gelisah, takut, entah rasa apalagi yang belum pernah tergores di hati, telah ikut hilang terbakar kobaran semangat itu.

 3,5 tahun akhirnya rangkaian kata yang bercampur baur telah terukir di atas potongan lembaran-lembaran kertas yang tersusun rapi terbungkus kertas tebal berwarna kuning...
3,5 tahun berjuang menyusun selembar demi selembar untuk mendapatkan dua huruf tambahan di belakang nama...
3,5 tahun berkutat dengan lembaran-lembaran yang mengkerutkan otak setiap harinya...
keringat yang tercurahkan, lelah, bosan, malas, bersatu yang selalu mencoba merasut untuk berhenti bergerak, "tubuhmu tubuh manusia",,, memiliki kelemahan, banyak kelemahan..
kelemahan yang bangkit dari bisikan yang entah muncul darimana... hampir saja api itu mengecil karena bisikan itu...
aaaah! mereka tak mampu memadamkan api semangat itu... bisikanmu lemah kawan... sujud orang -orang itu membuatmu tak berarti di hadapan mata ini...
kan ku bawa padamu keringat lelah pikiranku yang tertampung dalam lembaran-lembaran yang terbungkus kertas tebal yang telah terlihat mengkilap, buktiku kepadamu bahwa aku bukan orang yang tepat kau jadikan hasutanmu...

kan ku banggakan ia pada dua orang yang berjasa memberikanku kesempatan untuk mengukir indah nama ini di halaman depan sampul itu...
kan ku jadikan ia motivasi untuk dua anak kecil yang sedang berada di jalan yang pernah ku lalui agar hasutanmu tak berarti lagi terganti oleh kertas-kertas ini...
kan ku jadikan ia bentuk terima kasihku untuk seorang teladanku yang berjuang melalaikan kebahagiaannya demi setumpuk kertas yang bukan miliknya ini...
kan ku jadikan bukti ke dunia bahwa aku bisa melalui yang tak semua orang bisa melalui dengan waktu yang singkat dan gelombang tinggi yang tiba-tiba muncul menggulung perasaan hingga tertutup kesedihan yang berlarut-larut karena kepergiannya...
Aku bisa Ayah...
Aku bisa Ibu...
ini kulakukan untuk membawamu ke kotak hitam nan berarti itu...
tempat kalian selalu menghadapkan wajah untuk meminta kesuksesanku kepadaNya...
bersabarlah Ibu...bersabarlah....